­
­

Ketika Cosplay Harus Pernah Juara

By Dina - 00.33


Beberapa hari yang lalu saya lihat sebuah gambar yang dibagikan seorang teman di Facebook. Gambar ini hasil kreativitas salah satu fanpage, isinya kurang lebih begini, “Cosplay Lama Berprestasi Kagak”. Saya sempat terdiam sejenak setelah mengamati kiriman tersebut. Dari teman-teman saya lihat ada beberapa yang tidak setuju dengan statement itu, ada pula yang memberi caption ‘ya maap’ dan membuat saya jadi tersenyum. Saya sendiri jadi tergelitik untuk mengungkapkan pendapat, sebagai orang yang masih bercosplay walaupun sudah sangat jarang, Tapi rasanya kalau berpendapat dalam ruang kata yang dibatasi begitu, jadi kurang lengkap. Sedangkan Facebook sendiri didesain untuk kita menulis ringkas, toh tulisan panjang juga hampir pasti tidak dibaca, hanya di scroll doang. Lalu saya mencoba menulis pendapat sendiri di blog, agar lengkap dan bisa dielaborasi dengan teori yang saya sempat baca.

Cosplay dalam kajian budaya atau ilmu sosial seringkali dikategorikan sebagai subkultur. Istilah subkultur mengacu pada sekumpulan orang, umumnya anak muda, yang memiliki nilai dan kepercayaan yang berbeda dari budaya yang ‘lebih besar’ dan mengekspresikannya melalui perilaku, musik dan/atau cara berpakaian. Ketika menyebutkan subkultur biasanya yang akan terbayang adalah grup punk dengan aliran musik dan dandanan yang khas. Cosplay, sebagaimana subkultur lainnya, juga memiliki seperangkat nilai yang mereka yakini dan cara mengekspresikannya yang tentu saja dengan berpenampilan seperti karakter fiksi. Misalnya mereka cosplay karena mencintai karakter yang diperankan, bercosplay karena ingin merasakan menjadi karakter tersebut, atau ketika memerankan karakter tertentu haruslah sesuai dengan pribadi karakter tersebut dan lain sebagainya. Dari pengamatan pribadi saya juga melihat subkultur ini dibangun dari orang-orang yang ingin berpenampilan berbeda dan dirinya sehari-hari yang dipaksa berpakaian formal dan mungkin membosankan. Sebagai subkultur, nilai dan kepercayaan semacam itu agak sulit diterima oleh masyarakat umum dan justru terpinggirkan dari mainstream atau dalam istilah lainnya, termarjinalkan.

Dengan perkembangan teknologi dan media sekarang ini, gesekan subkultur dengan media menjadi tidak terhindarkan. Sudah menjadi hal biasa bagi kita menonton atau membaca liputan mengenai cosplay di berbagai bentuk media. Padahal pertemuan subkultur dengan media, pada sejarahnya, tidak selalu berakhir menyenangkan. Dengan menggunakan konsep Barthes tentang identifikasi the others, Dick Hebdige menjelaskan bahwa media akan memiliki kecenderungan untuk memanipulasi pesan mengenai subkultur, karena dianggap sebagai “the others”, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Media akan menyederhanakan konsep subkultur dan bahkan cenderung berbeda dengan konsep alamiah subkultur tersebut. Misalnya punk, sejak subkultur ini dibawa ke media, punk dibingkai sebagai gerakan yang membawa kerusuhan dan kekerasan alih-alih sebagai sebuah gerakan perlawanan sosial anak muda pada tahun 1970an.

Hal yang sama terjadi pula dengan cosplay. Kita bisa lihat bagaimana media tidak hanya berbentuk berita, tapi juga media sosial, memotret cosplay sebagai hobi yang menghasilkan uang dan prestasi. Banyak acara lomba diselenggarakan, bahkan hingga acara yang tidak berhubungan dengan kebudayaan Jepang atau event budaya pada umumnya (misalnya ulang tahun perusahaan tertentu) juga mengadakan lomba cosplay. Bisa menghasilkan uang dan prestasi tentu saja adalah hal yang luar biasa. Tapi menyederhanakan pengertian cosplay sebatas itu rasanya agak keliru, apalagi sampai menyindir “Cosplay Lama Berprestasi Kagak”. Seolah cosplay adalah kegiatan kompetisi yang selalu mengejar juara pertama. Bagaimanapun pada semangatnya, cosplay adalah sikap perlawanan terhadap budaya arus utama, adalah keinginan dan kenikmatan menjadi karakter yang dicintai oleh individu yang men-cosplay-kannya.

Pun ketika cosplay dikategorikan sebagai hobi. Rasanya tidak semua hobi memerlukan sebuah prestasi, karena yang diburu adalah rasa senang dan merilekskan pikiran dari rutinitas pada sehari-harinya. Justru akan lucu misalnya seseorang yang punya hobi mengumpulkan figure, kemudian ditanya dia sudah juara apa dalam mengumpulkan koleksinya. Hampir pasti jawabannya bukan kompetisi menang juara lomba, tapi prestasi itu ketika sudah bisa mendapatkan koleksi yang langka, dia pun senang. Hal yang sama saya tanyakan kepada teman yang hobi cosplay, bagi dia prestasi adalah saat dia bisa membawakan karakter yang dia sukai tapi mengharuskan dia menjiwai gestur dan raut wajah yang sulit serta kostum yang ribet. Ternyata tidak semua pencapaian dilihat dari juara satu dua tiga.

Kompetisi cosplay sendiri, sejauh pengamatan saya, terbagi menjadi dua macam; kompetisi yang ingin mewadahi cosplayer untuk tampil dalam settingan utuh (properti, musik, latar) dan kompetisi yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Tentu kita semua mengapresiasi para penggerak kedua kompetisi, khususnya yang ingin mewadahi cosplayer yang ingin tampil dalam setting yang lengkap. Kehadiran kompetisi sedikit banyak menyumbang alasan subkultur ini tetap eksis hingga sekarang. Tetapi sebaiknya tidak kemudian menjadi standar baru dalam cosplay untuk menjustifikasi mereka yang melakukannya hanya untuk kesenangan dan cinta saja.

dinathis. xoxo

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar