Beberapa hari yang lalu saya lihat sebuah gambar
yang dibagikan seorang teman di Facebook. Gambar ini hasil kreativitas salah
satu fanpage, isinya kurang lebih begini, “Cosplay Lama Berprestasi Kagak”.
Saya sempat terdiam sejenak setelah mengamati kiriman tersebut. Dari
teman-teman saya lihat ada beberapa yang tidak setuju dengan statement itu, ada
pula yang memberi caption ‘ya maap’ dan membuat saya jadi tersenyum. Saya sendiri
jadi tergelitik untuk mengungkapkan pendapat, sebagai orang yang masih
bercosplay walaupun sudah sangat jarang, Tapi rasanya kalau berpendapat dalam
ruang kata yang dibatasi begitu, jadi kurang lengkap. Sedangkan Facebook
sendiri didesain untuk kita menulis ringkas, toh tulisan panjang juga hampir
pasti tidak dibaca, hanya di scroll doang. Lalu saya mencoba menulis pendapat
sendiri di blog, agar lengkap dan bisa dielaborasi dengan teori yang saya sempat
baca.
Cosplay dalam kajian budaya atau ilmu
sosial seringkali dikategorikan sebagai subkultur. Istilah subkultur mengacu
pada sekumpulan orang, umumnya anak muda, yang memiliki nilai dan kepercayaan
yang berbeda dari budaya yang ‘lebih besar’ dan mengekspresikannya melalui
perilaku, musik dan/atau cara berpakaian. Ketika menyebutkan subkultur biasanya
yang akan terbayang adalah grup punk dengan aliran musik dan dandanan yang
khas. Cosplay, sebagaimana subkultur lainnya, juga memiliki seperangkat nilai yang
mereka yakini dan cara mengekspresikannya yang tentu saja dengan berpenampilan
seperti karakter fiksi. Misalnya mereka cosplay karena mencintai karakter yang
diperankan, bercosplay karena ingin merasakan menjadi karakter tersebut, atau
ketika memerankan karakter tertentu haruslah sesuai dengan pribadi karakter
tersebut dan lain sebagainya. Dari pengamatan pribadi saya juga melihat
subkultur ini dibangun dari orang-orang yang ingin berpenampilan berbeda dan dirinya
sehari-hari yang dipaksa berpakaian formal dan mungkin membosankan. Sebagai subkultur,
nilai dan kepercayaan semacam itu agak sulit diterima oleh masyarakat umum dan
justru terpinggirkan dari mainstream atau dalam istilah lainnya,
termarjinalkan.
Dengan perkembangan teknologi dan media
sekarang ini, gesekan subkultur dengan media menjadi tidak terhindarkan. Sudah menjadi
hal biasa bagi kita menonton atau membaca liputan mengenai cosplay di berbagai
bentuk media. Padahal pertemuan subkultur dengan media, pada sejarahnya, tidak
selalu berakhir menyenangkan. Dengan menggunakan konsep Barthes tentang identifikasi
the others, Dick Hebdige menjelaskan bahwa media akan memiliki
kecenderungan untuk memanipulasi pesan mengenai subkultur, karena dianggap
sebagai “the others”, berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Media akan menyederhanakan
konsep subkultur dan bahkan cenderung berbeda dengan konsep alamiah subkultur
tersebut. Misalnya punk, sejak subkultur ini dibawa ke media, punk dibingkai
sebagai gerakan yang membawa kerusuhan dan kekerasan alih-alih sebagai sebuah
gerakan perlawanan sosial anak muda pada tahun 1970an.
Hal yang sama terjadi pula dengan cosplay.
Kita bisa lihat bagaimana media tidak hanya berbentuk berita, tapi juga media
sosial, memotret cosplay sebagai hobi yang menghasilkan uang dan prestasi. Banyak
acara lomba diselenggarakan, bahkan hingga acara yang tidak berhubungan dengan
kebudayaan Jepang atau event budaya pada umumnya (misalnya ulang tahun
perusahaan tertentu) juga mengadakan lomba cosplay. Bisa menghasilkan uang dan
prestasi tentu saja adalah hal yang luar biasa. Tapi menyederhanakan pengertian
cosplay sebatas itu rasanya agak keliru, apalagi sampai menyindir “Cosplay Lama
Berprestasi Kagak”. Seolah cosplay adalah kegiatan kompetisi yang selalu
mengejar juara pertama. Bagaimanapun pada semangatnya, cosplay adalah sikap
perlawanan terhadap budaya arus utama, adalah keinginan dan kenikmatan menjadi
karakter yang dicintai oleh individu yang men-cosplay-kannya.
Pun ketika cosplay dikategorikan sebagai
hobi. Rasanya tidak semua hobi memerlukan sebuah prestasi, karena yang diburu
adalah rasa senang dan merilekskan pikiran dari rutinitas pada sehari-harinya. Justru
akan lucu misalnya seseorang yang punya hobi mengumpulkan figure, kemudian
ditanya dia sudah juara apa dalam mengumpulkan koleksinya. Hampir pasti
jawabannya bukan kompetisi menang juara lomba, tapi prestasi itu ketika sudah
bisa mendapatkan koleksi yang langka, dia pun senang. Hal yang sama saya
tanyakan kepada teman yang hobi cosplay, bagi dia prestasi adalah saat dia bisa
membawakan karakter yang dia sukai tapi mengharuskan dia menjiwai gestur dan
raut wajah yang sulit serta kostum yang ribet. Ternyata tidak semua pencapaian
dilihat dari juara satu dua tiga.
Kompetisi cosplay sendiri, sejauh
pengamatan saya, terbagi menjadi dua macam; kompetisi yang ingin mewadahi
cosplayer untuk tampil dalam settingan utuh (properti, musik, latar) dan
kompetisi yang ditujukan untuk menarik pengunjung. Tentu kita semua
mengapresiasi para penggerak kedua kompetisi, khususnya yang ingin mewadahi
cosplayer yang ingin tampil dalam setting yang lengkap. Kehadiran kompetisi sedikit
banyak menyumbang alasan subkultur ini tetap eksis hingga sekarang. Tetapi sebaiknya
tidak kemudian menjadi standar baru dalam cosplay untuk menjustifikasi mereka
yang melakukannya hanya untuk kesenangan dan cinta saja.
dinathis. xoxo
0 komentar