Kemarin saya memutuskan pulang naik bus Transjakarta. Belakangan ini tarif ojek online naik cukup tajam, sehingga saya gak bisa sering-sering menggunakan layanan mereka untuk pulang-pergi kuliah. Biasanya saya baru naik ojek online kalau memang sudah kepepet telat masuk kelas. Pulangnya masih bisa naik bus. Penghematannya ternyata lumayan juga.
Saya pribadi senang-senang saja naik bus, selama gak sampai berdesakan parah. Naik bus membuat saya bisa lebih leluasa mengamati orang-orang. Kadang saya merasa aneh juga kenapa saya bisa senang hanya berada di tengah keramaian untuk mengamati bagaimana manusia berinteraksi.
Sering saya belajar di dalam bus. Mempelajari bagaimana orang yang lebih muda mempersilakan lansia duduk di kursi prioritas. Mempelajari orang yang mengucapkan terima kasih pada petugas. Juga mempelajari bagaimana pasangan muda memilih tempat duduk agar mereka tetap bersama.
Kebetulan kemarin bus yang saya tumpangi agak sepi. Saya bisa dapat tempat duduk di bagian khusus perempuan. Penumpang kebanyakan diam saja selama lampu merah perempatan Matraman. Hanya ada dua perempuan berusia 25-30 tahun yang mengobrol. Saya mendengarkan, dengan sengaja.
Salah satu dari mereka, sebut saja Mbak A, bilang pada temannya, Mbak B, kalau dia minta temani ke suatu tempat untuk bertemu seseorang. Sepertinya mendadak, sedangkan tujuan mereka bukan pergi ke tempat itu. Mbak B mendengarkan, lalu setelah beberapa saat dia menjawab, "Gak mau ah gue."
Saya kaget. Tapi Mbak A gak kaget, dia justru bersemangat mengajak temannya itu supaya mau menemaninya pergi. Katanya tempat itu searah dengan rumah Mbak B dan orang yang akan ia temui di sana cukup ganteng. Namun Mbak B tetap gak mau menemani.
"Gak ah, capek tau. Itu jauh. Gue gak mau," ucapnya beberapa kali setiap temannya memberi alasan baru dengan nada hampir memelas. Tidak lama kemudian mereka turun di salah satu halte, meninggalkan saya yang belum selesai mengamati (baca: mendengarkan).
Setelah mereka turun saya berhenti mengamati sekitar, jadi lebih banyak berpikir sendiri. Saya sempat kaget karena saya gak pernah setegas Mbak B dalam menolak permintaan teman, apalagi teman dekat. Ada rasa kagum terselip di hati saya saat itu.
Kejadian ini mengingatkan saya dengan konsep high context culture dan low context culture gagasan Edward T. Hall yang sering dibahas pada pemaparan tentang Komunikasi Antar Budaya. Konsep ini sering dipakai untuk menjelaskan cara berkomunikasi masyarakat dalam suatu negara. Walaupun dikatakan tidak ada negara yang benar-benar sepenuhnya high atau low context culture.
High context culture sendiri merujuk pada cara berkomunikasi yang implisit, menggunakan banyak tanda, atau lebih sering disebut ngode. Sementara low context culture adalah cara berkomunikasi yang cenderung transparan, eksplisit, enggak kode-kodean lah pokoknya. Saya jadi berpikir mungkin ini salah satu karakteristik budaya berkomunikasi masyarakat yang tinggal di Jakarta. Mereka cenderung to-the-point dan akan menolak jika tidak setuju. Karena budayanya seperti itu, lawan bicaranya juga gak tersinggung atau bentuk hard feeling lainnya. Saat saya mengamati di lingkungan kampus sebagian besar orang memang begitu. Cara berkomunikasinya low context culture.
Saya besar di Banjarmasin, yang secara garis besar menganut high context culture. Situasi di atas akan sangat berbeda kalau kejadiannya di tempat asal saya. Karena konteksnya cukup umum, saya bisa membayangkan bagaimana jika mereka ada di high context culture. Biasanya teman yang diajak gak bisa menolak, walaupun ingin karena sudah lelah dan jauh. Tapi atas dasar pertemanan akhirnya menerima saja. Hampir pasti dalam hatinya terbersit penyesalan. Atau pilihan lainnya adalah dia bisa menolak, tapi secara halus. Bisa dengan memberi alasan sudah ada janji atau disuruh cepat pulang dan sebagainya. Ini juga kalau terus dirayu dan didesak akan menyerah juga, alasannya gak enak kalau menolak.
Tentu saja, tidak semua orang Jakarta benar-benar low context culture dan orang Banjarmasin benar-benar high context culture. Saya ada teman asli Jakarta yang susah menolak kalau diajak kemana-mana dan teman saya di Banjarmasin juga ada yang blak-blakannya ekstrem. Cara berkomunikasi juga menyesuaikan situasi, konteks dan lawan bicara. Bicara dengan teman, pasti beda dengan orang yang lebih tua. Bicara dalam konteks pertemuan formal juga berbeda dengan yang kasual, dan seterusnya.
Sumbangan gagasan Hall ini dalam ilmu komunikasi sebenarnya agar kita saling memahami ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya. Selain itu, kita juga bisa memprediksi kondisi seperti apa yang akan kita hadapi saat ada di lingkungan tersebut dan konflik seperti apa yang mungkin akan muncul. Sehingga kita bisa menghindari atau kalau sudah kejadian, bisa mengatasinya.
Dalam lingkungan high context culture, misalnya, kita kemungkinan akan sering salah paham karena pesannya penuh dengan tanda tertentu. Kalau luput membaca tanda, bisa fatal. Sebagai contoh, orangnya bilang bisa pergi, tapi wajahnya cemberut, jika diteruskan mungkin dia menganggap kita orangnya tegaan. Biasanya juga banyak aturan tidak tertulis yang gak semua orang asing paham, seperti menunjuk dengan telunjuk itu gak sopan harus dengan ibu jari, padahal kitanya mana tahu,
Sementara dalam lingkungan low context culture, detail pesan disampaikan secara verbal untuk menghindari salah paham. Lawan bicara gak perlu menebak maksudnya gimana karena maksudnya sangat eksplisit. Ini subjektif sih, tapi beberapa budaya yang gak terbiasa dengan lingkungan ini mungkin akan menganggapnya kurang sopan. Orang di lingkungan ini juga biasanya sangat peduli dengan aturan dan standar.
Ini benar-benar saya rasakan, saat saya pertama datang ke sini. Saya harus memahami kalau orang menolak ajakan saya bukan berarti dia gak suka sama saya. Saya gak boleh hard feeling karena memang budaya lawan bicara saya yang low context culture. Berkomunikasi itu seperti itu, harus mau memahami agar komunikasinya efektif dan gak terjadi konflik. Jika bisa bertahan tanpa konflik, mempertahankan hubungan juga menjadi lebih mudah.
Dari perjalanan naik bus saya jadi belajar sesuatu. Saya jadi bisa melihat sekitar saya lebih luas dan dibantu dengan teori serta konsep yang sudah dipelajari. Saya jadi teringat kata dosen saya waktu S1, orang ilmu sosial itu laboratoriumnya seluruh dunia.
dinathis. xoxo
0 komentar