Ketika keluar dari bioskop setelah menonton Avengers End Game, kita terlarut dalam suasana emosional, antara sedih, kagum, marah dan terharu. Kalimat 'I love you 3000' pun menjadi trending sekian minggu di berbagai lini media sosial. Menggeser sejenak pikiran kita dari kerumitan kantor dan masalah politik sosial yang semakin ruwet setiap harinya.
Lucu memang, sebelum ini saya tidak pernah mempermasalahkan bagaimana film dan musik populer itu tumbuh dan berkembang. Mungkin kamu juga berpikiran serupa. Bahwa mereka hanyalah produk hiburan yang mengisi hari-hari kita setelah seharian suntuk belajar atau bekerja. Hiburan hanya untuk dinikmati, toh tidak akan berefek apa-apa. Tapi ternyata saya, kamu, kita semua, harus mulai peduli dan belajar untuk melihat lebih dalam mengenai produk industri budaya.
Tersebutlah Theodor Adorno, seorang filsuf yang juga seorang musisi klasik, sekaligus tokoh berpengaruh dalam Frankfurt School. Perkenalan saya dengan pemikiran Adorno, bagi saya pribadi, adalah yang paling berkesan diantara beberapa teori kritis yang sudah saya baca. Betapa tidak, seperangkat alur pikir filsuf Jerman ini membawa saya untuk melihat lebih jauh mengenai industri budaya yang semakin hari semakin besar dan menjamur.
Gagasan Adorno mengenai industri budaya yaitu suatu konsep yang meliputi produksi barang-barang untuk dikonsumsi oleh massa, dan pada suatu takaran besar menentukan sifat konsumsi itu, yang dibuat kurang lebih sesuai rencana (Strinarti, 2016). Baginya, industri budaya dengan sembarangan memadukan seni tinggi dan seni rendah sehingga keunggulan seni tinggi itu sirna. Ia menambahkan bahwa dalam industri budaya tidak ada lagi istilah konsumen adalah raja. Konsumen telah semata-mata menjadi objek yang hanya dipandang memiliki materi untuk terus diekploitasi melalui produk budaya yang dihasilkan pasar.
Adorno memiliki beberapa poin penting dalam melihat industri budaya, diantaranya yaitu homogenisasi, standarisasi dan pseudo-individualism. Homogenisasi berkaitan erat dengan komersialisasi, dimana akhirnya selera pasar menjadi sama, tidak ada lagi variasi. Homogenisasi ini merupakan hasil bentukan para pemilik modal (kapital) untuk memudahkan mereka menjual produk budaya yang dapat diterima masyarakat luas.
Sementara standarisasi mengacu pada seperangkat ketentuan yang harus dipenuhi produsen produk budaya untuk dapat dijual ke pasar. Mudahnya seperti ketentuan panjang lagu yang harus 3-4 menit atau film yang terbatas 100-120 menit. Standarisasi selain berguna untuk menyeragamkan produk budaya juga mengacu pada modal produksi yang berarti dapat ditekan. Kembali pada dalil dasar kapitalisme; menekan modal sekecil-kecilnya demi hasil yang sebesar-besarnya.
Selanjutnya, pseudo-individualism mengacu pada ilusi yang diciptakan kapital yang membuat seolah kita punya pilihan berbagai produk yang dapat dipilih sesuai selera bahkan identitas kita, padahal sebenarnya produk itu sama saja. Fenomena kosmetik misalnya, merek Wardah untuk muslimah yang mencari produk halal, sementara merek luar negeri seperti Bobbi Brown untuk mereka yang sudah profesional dalam makeup. Padahal keduanya sama-sama kosmetik.
Mengulik MCU
Dalam usaha memahami industri budaya ini, saya memilih Marvel Cinematic Universe sebagai contoh. Keberhasilan semesta film ini membangun sebuah lini cerita yang bertahan hingga lebih dari sepuluh tahun membawanya pada kesuksesan yang mendunia. Jika ditinjau dalam perspektif industri budaya Adorno, maka kita akan menemukan bahwa, bagaimanapun, MCU tetaplah sebuah produk budaya.
Cerita superhero sebenarnya merupakan produk budaya yang sangat menguntungkan. Kisah-kisah heroik mengalahkan musuh, penjahat, atau alien tetap dinikmati sejak pertama kali muncul. Iron Man milik Marvel misalnya, sejak pertama kali muncul pada 1960an sudah tidak terhitung berapa banyak sekuelnya, baik berupa komik, animasi, hingga adaptasi film. Karakter Iron Man yang digunakan tetaplah sama, konteksnya melawan musuh juga tetap sama, yang diganti hanyalah musuh-musuhnya sehingga seolah penting bagi publik untuk menyimak cerita Iron Man yang baru karena musuhnya berbeda.
Begitu pula ketika Iron Man diolah oleh Marvel Studio dalam universe yang berbeda. Para penggemar Iron Man beramai-ramai menyaksikan film yang padahal merupakan daur ulang dari versi komiknya, namun dibuat seolah penting karena film ini akan bersambung dalam satu alur dan seolah mengancam apabila ketinggalan satu film akan mengakibatkan penonton tidak mengerti jalan ceritanya secara utuh. Ini ancaman yang hampir tidak disadari. Publik dibuat takut akan tertinggal potongan cerita oleh kapital agar ketika film selanjutnya keluar, penonton masih tetap akan datang untuk menonton.
Kampanye no spoiler khas Marvel juga menarik untuk diulas. Memang plot-twist sudah menjadi ciri film MCU dan mereka memanfaatkan elemen kejutan ini untuk membuat penonton penasaran. Dengan mengkampanyekan no spoiler, semakin banyak orang yang ingin mengetahui sendiri kejutan seperti apa yang mereka sajikan. Dalam perspektif ini, kampanye no spoiler tidak lagi dengan tujuan agar penonton bisa menikmati film secara utuh, tapi sudah berkaitan dengan kepentingan ekonomi kapital.
![]() |
cr. marvel studios |
Tersebutlah Theodor Adorno, seorang filsuf yang juga seorang musisi klasik, sekaligus tokoh berpengaruh dalam Frankfurt School. Perkenalan saya dengan pemikiran Adorno, bagi saya pribadi, adalah yang paling berkesan diantara beberapa teori kritis yang sudah saya baca. Betapa tidak, seperangkat alur pikir filsuf Jerman ini membawa saya untuk melihat lebih jauh mengenai industri budaya yang semakin hari semakin besar dan menjamur.
Gagasan Adorno mengenai industri budaya yaitu suatu konsep yang meliputi produksi barang-barang untuk dikonsumsi oleh massa, dan pada suatu takaran besar menentukan sifat konsumsi itu, yang dibuat kurang lebih sesuai rencana (Strinarti, 2016). Baginya, industri budaya dengan sembarangan memadukan seni tinggi dan seni rendah sehingga keunggulan seni tinggi itu sirna. Ia menambahkan bahwa dalam industri budaya tidak ada lagi istilah konsumen adalah raja. Konsumen telah semata-mata menjadi objek yang hanya dipandang memiliki materi untuk terus diekploitasi melalui produk budaya yang dihasilkan pasar.
Adorno memiliki beberapa poin penting dalam melihat industri budaya, diantaranya yaitu homogenisasi, standarisasi dan pseudo-individualism. Homogenisasi berkaitan erat dengan komersialisasi, dimana akhirnya selera pasar menjadi sama, tidak ada lagi variasi. Homogenisasi ini merupakan hasil bentukan para pemilik modal (kapital) untuk memudahkan mereka menjual produk budaya yang dapat diterima masyarakat luas.
Sementara standarisasi mengacu pada seperangkat ketentuan yang harus dipenuhi produsen produk budaya untuk dapat dijual ke pasar. Mudahnya seperti ketentuan panjang lagu yang harus 3-4 menit atau film yang terbatas 100-120 menit. Standarisasi selain berguna untuk menyeragamkan produk budaya juga mengacu pada modal produksi yang berarti dapat ditekan. Kembali pada dalil dasar kapitalisme; menekan modal sekecil-kecilnya demi hasil yang sebesar-besarnya.
Selanjutnya, pseudo-individualism mengacu pada ilusi yang diciptakan kapital yang membuat seolah kita punya pilihan berbagai produk yang dapat dipilih sesuai selera bahkan identitas kita, padahal sebenarnya produk itu sama saja. Fenomena kosmetik misalnya, merek Wardah untuk muslimah yang mencari produk halal, sementara merek luar negeri seperti Bobbi Brown untuk mereka yang sudah profesional dalam makeup. Padahal keduanya sama-sama kosmetik.
Mengulik MCU
Dalam usaha memahami industri budaya ini, saya memilih Marvel Cinematic Universe sebagai contoh. Keberhasilan semesta film ini membangun sebuah lini cerita yang bertahan hingga lebih dari sepuluh tahun membawanya pada kesuksesan yang mendunia. Jika ditinjau dalam perspektif industri budaya Adorno, maka kita akan menemukan bahwa, bagaimanapun, MCU tetaplah sebuah produk budaya.
Cerita superhero sebenarnya merupakan produk budaya yang sangat menguntungkan. Kisah-kisah heroik mengalahkan musuh, penjahat, atau alien tetap dinikmati sejak pertama kali muncul. Iron Man milik Marvel misalnya, sejak pertama kali muncul pada 1960an sudah tidak terhitung berapa banyak sekuelnya, baik berupa komik, animasi, hingga adaptasi film. Karakter Iron Man yang digunakan tetaplah sama, konteksnya melawan musuh juga tetap sama, yang diganti hanyalah musuh-musuhnya sehingga seolah penting bagi publik untuk menyimak cerita Iron Man yang baru karena musuhnya berbeda.
Begitu pula ketika Iron Man diolah oleh Marvel Studio dalam universe yang berbeda. Para penggemar Iron Man beramai-ramai menyaksikan film yang padahal merupakan daur ulang dari versi komiknya, namun dibuat seolah penting karena film ini akan bersambung dalam satu alur dan seolah mengancam apabila ketinggalan satu film akan mengakibatkan penonton tidak mengerti jalan ceritanya secara utuh. Ini ancaman yang hampir tidak disadari. Publik dibuat takut akan tertinggal potongan cerita oleh kapital agar ketika film selanjutnya keluar, penonton masih tetap akan datang untuk menonton.
Kampanye no spoiler khas Marvel juga menarik untuk diulas. Memang plot-twist sudah menjadi ciri film MCU dan mereka memanfaatkan elemen kejutan ini untuk membuat penonton penasaran. Dengan mengkampanyekan no spoiler, semakin banyak orang yang ingin mengetahui sendiri kejutan seperti apa yang mereka sajikan. Dalam perspektif ini, kampanye no spoiler tidak lagi dengan tujuan agar penonton bisa menikmati film secara utuh, tapi sudah berkaitan dengan kepentingan ekonomi kapital.
Film dalam MCU juga tetap memiliki
standar film pada umumnya, durasi, penokohan, hingga humor yang berusaha
dibawa. Film superhero khususnya MCU memiliki alur yang mirip-mirip dalam
setiap filmnya; ada perkenalan, muncul konflik, pahlawan tidak berdaya, musuh
hampir menang, namun di saat terakhir dia mampu membalikkan keadaan. Yang
terjadi kemudian penonton merasa terhubung dengan karakter pahlawan itu secara emosional dan
mengidolakannya. Dalam industri budaya, pengidolaan ini kemudian menjadi pintu
baru bagi kapital untuk mengeksploitasi masyarakat. Oleh karena itu, mereka
menjual pernak-perniknya hingga replika pakaian yang dikenakan aktornya dalam
film, misalnya.
Ramalan yang Dicemaskan
Menurut Adorno, produk industri budaya membuat
manusia lupa dengan isu substansial di sekitar mereka yang lebih penting karena
terlena dengan keremehtemehan industri budaya. Ia mengistilahkannya dengan escapism. Salah satu contoh menarik adalah
ketika peluncuran film MCU Captain Marvel berdekatan dengan Hari Perempuan
Internasional. Karena membludaknya penonton film tersebut, media ramai
mengeluarkan berita dan artikel yang mengasosiasikan perempuan yang kuat itu
seperti Captain Marvel. Ia digambarkan sebagai sosok perempuan yang hebat dan
kuat karena mampu menyelamatkan bumi dan mengalahkan alien.
Padahal Hari
Perempuan Internasional tidak seremeh hanya mengasosiasikan perempuan hebat itu
seperti tokoh pahlawan fiksi. Momentum ini harusnya menjadi sebuah evaluasi
bagi negara-negara di dunia tentang kesejahteraan perempuan dan kesetaraan
gender. Tokoh-tokoh yang perlu dimunculkan pun harusnya para perempuan yang
melakukan tindakan nyata untuk memajukan kaumnya. Namun sayangnya suasana Hari
Perempuan Internasional kala itu kalah dengan hingar bingar penayangan Captain
Marvel serentak di seluruh dunia.
Kecemasan Adorno tentang budaya memang beralasan. Budaya tidak hanya meliputi kesenian daerah, namun juga identitas, nilai, norma dan cara pandang terhadap dunia. Bagaimana mungkin kita membiarkan sesuatu se-esensial itu kemudian diarahkan menjadi sesuatu yang seragam, hingga dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk memperoleh keuntungan ekonomi semata? Bukan tidak mungkin banyak masyarakat kemudian lupa dengan identitas etniknya. Juga bukan tidak mungkin apabila masyarakat akhirnya menjadi sangat konsumtif dan materialis akibat bergesernya nilai-nilai yang luhur.
Kecemasan Adorno tentang budaya memang beralasan. Budaya tidak hanya meliputi kesenian daerah, namun juga identitas, nilai, norma dan cara pandang terhadap dunia. Bagaimana mungkin kita membiarkan sesuatu se-esensial itu kemudian diarahkan menjadi sesuatu yang seragam, hingga dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk memperoleh keuntungan ekonomi semata? Bukan tidak mungkin banyak masyarakat kemudian lupa dengan identitas etniknya. Juga bukan tidak mungkin apabila masyarakat akhirnya menjadi sangat konsumtif dan materialis akibat bergesernya nilai-nilai yang luhur.
0 komentar