­
­

Make-up vs Natural Itu Kompetisi yang Tidak Perlu

By Dina - 01.59

Bukan cuma belakangan ini tren membicarakan riasan perempuan menjadi tidak terkontrol dan cenderung tidak sehat. Sudah dari dulu ekspektasi terhadap perempuan justru dilihat dari caranya mempercantik dirinya. Seolah mereka yang lebih tebal riasannya tidak lebih baik dari mereka yang tidak merias diri sama sekali. Atau sebaliknya, perempuan yang tidak mengenal make-up dianggap sebagai perempuan yang baik dalam arti tidak tampil secara 'palsu'. Idaman mereka bilang.

illustration by dinathis


"Masih ada gak sih cewek yang gak ngabisin waktu lama buat dandan?" atau "Cewek yang tampil natural itu sudah punah." dan semacamnya mewarnai lini media sosial hari ini. Warganet sibuk sekali meributkan penampilan dan wajah perempuan. Mereka bahkan cukup rajin untuk menghitung pengeluaran perempuan untuk alat riasnya. Sebegitu terganggunya mereka dengan yang namanya make-up.

Persoalan tentang 'make-up vs natural' tentu saja tidak adil bagi perempuan. Mau pakai atau tidak pakai make-up adalah kebebasan, sama halnya dengan mau gaya 'make-up glamour' ataupun 'no-makeup makeup look'. Tidak masalah jika memilih salah satu diantaranya. Yang jadi masalah justru ketika masyarakat menjadikan gaya rias ini sebagai indikator untuk menilai pribadi orang lain. Atau lebih parah; membandingkannya.

Saya masih ingat pernah membaca post yang dibagikan seorang teman tentang perbandingan riasan pengantin Indonesia dengan riasan pengantin di Barat. Riasan pengantin Indonesia dinilai ketebalan dan seperti memakai topeng, kulitnya dibuat terlalu putih jauh dari warna asli kulitnya. Melihat kolom komentarnya ada yang bilang, dicipratkan air juga tidak basah saking tebalnya. Sementara riasan ala Barat dinilai lebih natural dan tipis, karena riasan yang minimalis dan warna foundation yang sewarna dengan warna kulit.

Saya tidak mempersoalkan make-up seperti apa yang diinginkan pengantin, mengingat itu adalah hari yang spesial baginya dan dia punya hak untuk memilih ingin tampil seperti apa. Yang menggelitik adalah cara masyarakat menemukan celah-celah baru untuk mengkritik riasan perempuan. Saya sempat berpikir bahwa orang-orang seperti ini sangat piawai dalam mengamati tren perempuan dan make-up. Sampai-sampai tidak pernah kehabisan ide.

Dari pengeluaran untuk perawatan yang sering dibilang tidak masuk akal, menornya riasan perempuan sehari-hari, sekarang bahkan riasan yang mungkin hanya dipakai sekali seumur hidup juga dibahas. Hal ini tidak hanya menekan perempuan untuk berpenampilan tertentu, tapi juga menciptakan kompetisi yang tidak perlu antara sesama perempuan.

Ketika post semacam ini viral di media sosial tidak jarang kolom komentar diisi oleh sesama perempuan yang saling adu argumen. Saling berusaha menunjukkan keunggulan 'aliran' riasannya. Lebih parah sampai saling menjatuhkan. Membuat masyarakat patriarki bertepuk tangan penuh kemenangan karena berhasil menggoyahkan pilihan perempuan dan mengembalikan kontrol ke tangan mereka.

Cara ini jelas kotor dan oleh karenanya harus disadari oleh para perempuan. Bersaing dalam hal riasan mana yang lebih baik tidak menyelesaikan masalah. Jika benar-benar ingin prejudice ini berakhir, caranya adalah bersatu. Ya, mau kamu tidak pakai make-up atau make-up adalah hobimu atau apapun aliran riasanmu, jika perempuan bersama sepakat bahwa tidak ada lagi penilaian berdasarkan riasan, maka argumen prasangka semacam itu akan sangat mungkin diruntuhkan.

Hal yang pertama harus dilakukan adalah membangun kesadaran itu. Akan sulit bersatu jika masih ada yang 'tidak sadar' sedang dipermainkan oleh tatanan sosial yang sembarangan. Perempuan perlu membuktikan bahwa mereka bukan sekedar objek yang riasannya, pikirannya bisa didikte dengan mudahnya. Pembuktian yang dilakukan secara bersama-sama.

Sudah saatnya keluar dari kompetisi yang amat tidak penting itu. Women are so much more than their looks.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar