­
­

Homogenisasi Informasi Mengancam Keberagaman Bangsa

By Dina - 20.50


Sejak awal tahun 2019, kabar mengenai pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan menjadi sorotan masyarakat seluruh Indonesia. Suara yang kontra terdengar lebih dominan dibanding mereka yang mendukung. Berbagai argumen penolakan muncul dari berbagai elemen masyarakat mulai dari alasan kelestarian alam, transportasi yang sulit, hingga merasa kurang cocok dengan lingkungan sosial Kalimantan yang dihuni suku tertentu. Dari sekian banyak alasan yang dilemparkan, justru merefleksikan bahwa masyarakat Indonesia di luar Kalimantan, atau Jawa khususnya, masih menyimpulkan terlalu sempit tentang kondisi di Kalimantan.

illustration by dinathis
Bukan rahasia lagi jika selama ini pulau Kalimantan sering dipandang setengah-setengah. Sejak peristiwa kerusuhan Sampit hampir dua dekade silam, Kalimantan mendapatkan citra yang kurang baik. Misalnya Kalimantan hanya dihuni suku Dayak yang dikenal kasar dan identik dengan sadisme. Padahal di Kalimantan terdapat banyak suku seperti suku Banjar yang budaya dan bahasanya sangat melayu, suku Bugis, hingga suku Jawa yang datang dengan program transmigrasi. Suku Dayak juga tidak hanya terdiri dari satu suku, bahkan di setiap provinsi punya ciri suku Dayak masing-masing yang tidak bisa digeneralisir tradisinya. Menarik kesimpulan tertentu yang mengarah pada stereotip keliru tentu tidak adil bagi masyarakat Kalimantan.
Tetapi masyarakat Indonesia secara umum juga tidak bisa dipersalahkan atas penilaian semena-mena ini. Pandangan mereka dibentuk berdasarkan informasi apa yang mereka terima, khususnya dari media. Dari sajian informasi melalui saluran media, diharapkan muncul berbagai representasi yang beragam. Mereka yang jauh dapat merasa dekat dengan mengetahui kabar terbaru dari orang yang jauh diseberang pulau. Idealnya media menjadi alat kohesi sosial yang mampu mengeratkan hubungan sosial masyarakat dengan mewadahi perbedaan yang ada. Masalahnya, realita yang terjadi tidak seindah teori-teori idealis yang justru terlihat seperti bermimpi.
Media di Indonesia hari ini tidak mampu mewadahi keberagaman suku bangsanya. Ini jelas terlihat dari arus informasi yang sentral di Jawa atau Jakarta, untuk lebih spesifik. Jika menyaksikan berita di TV nasional, kita akan menyaksikan riuhnya kabar mengenai banjir di Senayan, sorotan kepada Gubernur Jakarta, dan semacamnya. Berita yang memotret keadaan terkini di daerah luar Jawa dipilih cenderung berita kriminal, kerusuhan, serta tone negatif lainnya. Ketimpangan ini telah terjadi selama berpuluh tahun dan efeknya telah terasa sekarang. Lucu rasanya ketika orang Kalimantan mengetahui banyak nama daerah di Jakarta, padahal mereka tidak pernah berada di sana. Mereka jadi hafal lokasi untuk belanja atau lokasi yang sering banjir, yang semuanya dipelajari lewat informasi dari media. Sedangkan orang yang tinggal di Jakarta bahkan masih sering keliru menyebutkan ibukota provinsi yang ada di Kalimantan.
Informasi telah menjadi satu warna, warna Jakarta, lebih dari tiga dekade. Dalam ranah hiburan, media juga lebih banyak menyatukan representasi budaya yang sentris pada Jakarta dan pulau Jawa. Sinetron lebih sering mengambil latar di Jakarta atau Bandung. Tokohnya pun tidak lepas dari logat Sunda dan Betawi, sekalipun ada yang lain, porporsinya tidak seimbang atau disajikan dengan stereotipikal yang keliru. Untuk representasi orang Kalimantan bahkan nyaris tidak ada. Tetapi tidak pernah ada yang menggugat kurangnya representasi ini. Semua seolah menjadi wajar, wajar karena televisi dipancarkan dari Jakarta, wajar karena tim produksi orang Jakarta, dan kewajaran buatan lainnya. Melalui proses yang seolah alamiah inilah akhirnya identitas yang tadinya beragam, perlahan melebur dalam arus informasi menjadi kasta-kasta identitas yang sewenang-wenang.
Disebut kasta identitas lebih karena warga Indonesia memandang identitas Jakarta begitu istimewa. Seolah dalam hierarkinya, ciri-ciri yang mengidentifikasikan seseorang sebagai orang Jakarta dianggap lebih baik daripada budaya tempat mereka tinggal. Sementara mereka yang membawa identitas lokal dianggap kampungan dan tertinggal. Identitas ini meliputi diantaranya cara bicara, pemilihan kata, gaya berpakaian, gaya hidup dan pola komunikasi lainnya. Di Kalimantan misalnya, bahasa daerah masih lebih dominan daripada bahasa nasional dalam konteks penggunaan sehari-hari. Namun seiring dengan gencarnya terpaan informasi lewat berbagai media massa, masyarakat mulai mengenal kosa kata yang populer digunakan warga Jakarta seperti “elo” dan “gue” yang menggantikan subjek penanda orang. Ada pula dialek Betawi dan dialek Sunda yang kemudian ditiru oleh banyak pemuda di daerah, meskipun mereka punya dialek yang sama sekali berbeda. Sehingga menirukannya justru terdegar aneh, namun tetap dilanjutkan oleh mereka. Meniru identitas hasil homogenisasi pada akhirnya membuat ciri identitas mereka melebur, kehilangan kekhasannya untuk sekadar tampil lebih gaya.
Ditambah persoalan peniruan gaya hidup yang memicu perilaku konsumtif. Semakin banyak orang memilih berbelanja ke mall besar dibanding pergi ke pasar tradisional. Hal ini cukup disayangkan karena beberapa suku punya tradisi unik dalam kegiatan jual beli yang tradisional. Suku Banjar misalnya, punya kebiasaan mengucapkan akad jual beli setelah pembayaran dan barang diterima. Bagi pembeli ia mengucapkan “Tukar!” yang artinya membeli dan bagi penjual, ia mengucapkan “Jual!”. Tradisi ini merupakan turunan dari ajaran Islam yang membiasakan transaksi melalui akad untuk menandakan kesepakatan dari kedua belah pihak. Namun, ketika orang beralih belanja ke pusat perbelanjaan, tradisi atau adab jual beli ini kemudian tidak digunakan.
Belakangan muncul argumen bahwa pola ini bisa saja tidak relevan lagi ketika manusia telah memasuki era internet dan media sosial. Dikatakan dalam media ini, dominasi bisa dipegang oleh siapa saja, informasi bisa dipancarkan dari siapa saja dengan latar belakang yang berbeda-beda. Mungkin mereka yang dulu kurang banyak mendapatkan porsi representasi dalam informasi bisa berbalik menjadi penyalur informasi yang mempengaruhi orang lain untuk menirunya. Tetapi benarkah seperti itu? Sayangnya, kondisi hari ini tetap memperlihatkan bahwa homogenisasi lewat media konvensional hingga internet tidak terelakkan. Lewat media sosial, kasta identitas masih dipertahankan. Mereka dengan gaya hidup glamor dan konsumtif dianggap lebih keren dari yang hidupnya sederhana. Para influencer dan selebgram, menggunakan bahasa gaul dengan dialek ibukota, yang begitu saja ditiru oleh pengikutnya.
Homogenisasi informasi lewat media sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Identitas budaya lokal menjadi bulan-bulanan yang terus diserang. Keberagaman identitas yang semestinya menjadi kebanggaan Indonesia sebagai negara yang menjunjung bhineka tunggal ika, semakin terancam. Prasangka mengenai suku tertentu dalam arti sempit justru dapat memicu konflik dalam berkomunikasi, terlebih jika prasangka tersebut sama sekali keliru. Artinya solidaritas sebagai bangsa juga terancam jika sampai konflik tersulut dari kesalahan menilai orang lain. Persoalan lainnya adalah identitas yang juga menjadi homogen, semua orang punya identitas yang sama. Tidak ada lagi jati diri, tidak ada lagi keunikan budaya. Pada akhirnya menjadi seperti yang dikatakan filsuf Fredric Jameson, manusia kehilangan subjektivitasnya dan mereka semua dalam cetakan selera, pola pikir, dan rutinitas yang sama.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar